Pagi
itu, tepat dimana mata kita saling menyapa di koridor kelas, dan pada pagi itu
juga aku merasa ada yang berbeda dengan kamu. Ya... rasa ku berbeda saat aku
berada di dekatmu. Ada sensasi luar biasa yang bisa aku rasakan saat aku berada
di dekatmu. Jantungku memompa darah lebih cepat dari biasanya, darah ku juga
mengalir tanpa ritme yang jelas, membuat keringatku bercucuran dan parahnya
lagi lidahku keluh saat aku berada didekatmu.
Aku
berusaha menahan diri, mendoktrin otakku bahwa itu hanya ilusi semata. Tapi
logika mulai berbisik, bangun nak ini adalah dunia nyata yang sedang kau
hadapi. Rasamu itu wajar, yang tidak wajar adalah saat kau berusaha seakan
tidak terjadi apa-apa padahal lidahmu saja keluh saat berada didekatnya.
Masih
saja, aku terus berpura-pura, berpura-pura seakan tidak terjadi apa-apa. Aku
bingung, aku resah, dan aku kalut dalam rasa itu. Semakin aku mencoba untuk biasa
saja, namun bayangmu semakin menjadi nyata, jelas dan pastinya berbekas. Setiap
malam aku merasa gelisah, di satu sisi aku ingin tahu kabar darimu namun disis
lain lidah ku keluh dan gengsiku masih belum bisa berdamai dengan diriku.
Hari
demi hari aku lalui dengan hanya berteman baik dengan dirimu. Memandangmu saja
sudah cukup bahagia buatku, apalagi jikalau saja kamu menanyakan kabar tentang
diriku. Tapi itu adalah ketidak mungkinan yang selalu aku semogakan, walaupun
aku tau, itu akan tetap menjadi sebuah ketidakmungkinan. Dan selalu saja kau
selalu bisa membuatku salah tingkah setiap berada di dekatmu. Ya ... kau berhasil
membuatku masuk dalam lingkaran rasa itu.
Kita
selalu bercerita, berbagi suka dan duka tanpa ada kecurigaan sedikit pun
darimu. Kau hanya menganggap dan memperlakukan aku selayaknya seorang teman
biasa. Dan aku, aku tetap sama menyimpan rasa tapi tak bisa untuk kuungkapkan.
Gengsi ku sangatlah tinggi, sangatlah tidak etis bagiku jikalau seorang
perempuan menyatakan perasaannya terlebih dahulu. Aku selalu bertanya pada malam dan siang,
andai saja aku tahu tentang rasamu. Apakah kau mempunyai rasa yang sama
kepadaku atau malah sebaliknya ?
Kuharap
Tuhan mendengar semua doaku agar kau membalas rasa yang kurasa saat itu. namun
ternyata bumi saja mengacuhkan aku. Selang beberapa bulan, kau dan aku dipisahkan
oleh ruang dan waktu. Kita terpisah ruang namun masih dalam satu tempat yang
sama. Sekarang komunikasi ku denganmu semakin terbatas. Kita tidak bisa
berbicara se intens dulu, bercanda dan tertawa bersama kini hanya menjadi
kenangan indah bersamamu.
Aku
hanya bisa memandangmu dari kejauhan, mengamatimu
dan terus berdoa kepada Tuhan agar kau segera tahu isi hatiku. Tetapi seiring
berjalannya waktu kita semakin saling acuh tak acuh. Kau sibuk dengan duniamu
dan aku sibuk dengan duniaku. Sehingga saat berpapasan saja aku tidak tahu lagi
bagaimana caranya mengatakan hai kepadamu. Dan kamu semakin asyik saja dengan
teman barumu.
Sampai
suatu hari kudengar kau jadian dengan teman sekelasmu. Aku terdiam, sedih,
marah, dan gelisah membanjiri otakku. Disatu sisi aku bahagia, namun disisi
lain kau membuat retak organ dalam tubuhku. Rasanya seperti ada belati yang kau
goreskan ke hatiku. Sakit namun tidak berdarah, membekas dan semakin menganga
jikalau aku tak sengaja mengingatmu.
Sejak
saat itu, kumulai mengajak hatiku untuk berdamai tentang rasaku kepadamu. Namun
ternyata itu bukanlah hal yang mudah, sangat sulit membuat hatiku pulih kembali
dari rasa sakit karena keegoisanku sendiri. Butuh 1 tahun untuk menyatukkan
kembali puing-puing hatiku yang tak sengaja kau patahkan. Dan selama satu tahun
juga aku merasakan rasa gelisah, sedih, dan kalut memikirkan kebodohan yang
telah aku perbuat. Tepatnya satu tahun tiga bulan ku ku sia-siakan begitu saja
karena cinta yang tidak terbalaskan karena keegoisanku. Ah... betapa bodohnya
aku dulu.